Home
Kesaksian Almh Ibu Lydia Lani Winata

KESAKSIAN

Proses Penyembuhan Penyakit Liver Abscess yang diderita oleh

Ibu Lydia Lani Winata

Sunnyvale, California USA

Pada tanggal 25 Agustus 2000, mami saya tiba di Los Angeles untuk mengunjungi saya yang tinggal di San Diego dan adik saya Daniel Purwadi yang tinggal di Sunnyvale dekat San Francisco. Namun kedatangan beliau kali ini sungguh sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Pertama untuk membantu saya bersiap-siap kembali ke Indonesia karena saya sudah putuskan untuk menetap dan bekerja di Indonesia. Kedua telah terjadi sesuatu yang diluar dugaan pada beliau yakni suatu penyakit liver yang berat dan harus dirawat di rumah sakit di daerah Silicon Valley padahal tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya, sementara itu beliau tidak memiliki asuransi kesehatan.

Kejadian ini diawali pada tanggal 4 February 2001 saat kami pindah dari San Diego ke Sunnyvale dengan mengendarai mobil selama +/- 10 jam untuk tinggal sementara dengan adik saya  sambil menunggu saat kembali ke Jakarta pada tanggal 25 February 2001. Ketika memasuki wilayah Silicon Valley, saya tergerak untuk berdoa peperangan dengan para penguasa udara di wilayah tersebut. Saya berdoa, memuji dan menyembah selama 2 jam dimulai dari pukul 2 pagi dini hari sampai dengan pukul 4 pagi dini hari, yaitu saat kami tiba di apartment adik saya. Setelah kejadian tersebut kami tinggal dengan tidak menghadapi masalah apapun. Sayapun melupakan perirstiwa doa peperangan tersebut. Namun pada tanggal 14 February 2001, yakni 11 hari sebelum tanggal penerbangan kami ke Jakarta,  mami saya mengatakan bahwa ia merasa lemas dan tidak enak badan. Seperti biasanya, kami menganggap beliau masuk angin, oleh karena itu kami menggunakan cara tradisional seperti kop dan kerikan. Setelah 3 hari ternyata beliau semakin lemas dan kehilangan semangat. Saya dan adik saya bingung harus berbuat apa menimbang biaya pengobatan di Sunnyvale yang sangat mahal sementara itu kami tidak membeli asuransi perjalanan untuk mami. Melihat kondisi mami semakin hari semakin lemah, akhirnya pada tanggal 18 February 2001 kami memutuskan untuk membawa beliau ke klinik menimbang biaya pengobatannya lebih murah dari pada rumah sakit (Namun ternyata tetap mahal juga yakni $350). Setelah 4 jam berada di klinik, akhirnya pada jam 5 sore dokter menyuruh kami membawa mami ke rumah sakit karena tekanan darah mami sudah rendah sekali dan dari hasil test darah menunjukkan ada salah satu organ tubuh yang sakit (diperkirakan ginjal).

Saat itu kami tetap tidak berpikiran bahwa mami menderita sakit keras, bahkan karena belum makan dari siang, mami mengajak mampir ke rumah makan dulu sebelum ke rumah sakit. Pada jam 6 sore hari minggu tanggal 18 February 2001, mami dibawa ke rumah sakit dengan hati kami yang masih bertanya-tanya berapa besar biaya pengobatan nanti. Kami pasrah namun tetap berhitung, mungkin kalau mami hanya perlu dirawat beberapa hari kami akan berupaya untuk menanggungnya.

Ketika tiba di rumah sakit El Camino, sebuah rumah sakit swasta,  mami sudah tidak kuat berdiri lagi, lalu kami carikan kursi roda untuknya. Karena, sekali lagi, kami tidak berpikir mami sedang menderita penyakit yang serius, maka kami daftar menurut antrian. Namun ketika tiba giliran mami untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh perawat di bagian pendaftaran, segera oleh si perawat mami diperintahkan untuk dikasih prioritas terlebih dahulu dan saya disuruh menemani mami karena mami tidak bisa bahasa inggris; jadi adik saya, daniel, yang mengurus surat-suratnya.

Dikamar gawat darurat mami diperiksa oleh seorang dokter internist dari Taiwan. Selama pemeriksaan, saya terus berdoa dan menangis sambil terus menguatkan mami yang sudah terlihat sangat lemah.  Karena pemeriksaan berlangsung lama namun dokter belum memberi tahu apa yang diderita mami, saya sempat menegur dokter bahwa jangan gunakan kesempatan untuk cari uang dengan menggunakan semuat fasilitas yang ada di rumah sakit. Namun sang dokter berkata bahwa mami sedang sakit keras dan dia berusaha untuk cari tahu apa penyebabnya. Saya lakukan itu karena yang ada dikepala saya cuma ingin mami segera pulang mengingat masalah biaya tentunya. Apalagi menurut orang-orang biaya bagian emergency sangat mahal saya ingin mami segera dipindahkan keruangan biasa saja tapi si dokter koq lama sekali; malam itu merupakan malam terpanjang dalam hidup saya. Setelah menunggu selama beberapa jam barulah pada pukul 3 pagi dinihari dokter memberi tahu melalui adik saya bahwa penyakit mami adalah Liver Abscess, yaitu sebagian hati mami rusak oleh bakteri.  Dan mami segera dipindah ke ruangan Critical Care Unit ( biayanya US$ 4025 per malam).

Pagi harinya saya dan adik saya dipanggil oleh 2 dokter yakni dokter internist dan dokter wanita ahli infeksi dan tropical diseases. Kedua dokter itu memberitahu bahwa ada 2 cara untuk pengobatannya: pertama cairan nanahnya akan disedot dan lukanya akan diobati. Bila cara pertama ini gagal, maka akan langsung dipakai cara kedua yakni dibedah. Mendengar ini  saya kaget dan segera mengontak saudara-saudara di Jakarta (sebelumnya adik saya sudah memberitahu kalau mami sedang dirawat di rumah sakit) untuk minta bantuan doa.  Pada waktunya, mami dimasukkan ke sebuah ruangan untuk dipasang alat penyedotnya;  saya kebetulan diperbolehkan melihat dari layar komputer berapa besar kerusakan hati mami. Saya lihat ada +/- sepertiga bagian hati yang rusak. 2 jam kemudian, pemasangan selesai dan dokter yang melakukan mengatakan bahwa cara pertama ini berhasil berarti tidak perlu cara kedua yaitu dibedah dan proses penyedotan akan selesai dalam beberapa hari…..oh kami senang sekali dan segera kabarkan ke Jakarta bahwa doa kita dikabulkan Tuhan….dan kami pikir ini juga akan mengurangi biaya….saya perkiraan total biaya akan sebesar US$10,000.

Dalam masa penyedotan, kami berada dirumah sakit siang dan malam. Kami bisa berdialog dengan mami tapi pembicaraan mami kadang membingungkan. Mami berkata bahwa ada sebuah mahkluk yang besar dan hitam yang mau menikam mami dengan benda tajam. Pertama-tama saya tidak gubris, karena saya pikir ini mungkin pengaruh obat penahan sakitnya (dalam hal ini morfin, sampai saya katakan ke perawat untuk mengurangi dosis morfinnya). Namun sebagai orang yang percaya ada kuasa gelap dalam dunia ini, saya masih berdoa untuk mengusir roh jahat itu. Apalagi, mami terus minta didoakan agar dibebaskan dari gangguan roh jahat ini.  Saya juga menghubungi saudara-saudara saya di Jakarta serta kawan-kawan di Amerika untuk minta bantuan doa. Hingga pada suatu hari, mami mengatakan bahwa roh jahat tersebut telah berhasil menikam mami dengan sebuah benda dari besi yang tajam dan mami katakan Hen…kali ini berat..berat. Sekali lagi, saya kembali mengandalkan akal sehat saya bahwa menurut dokter tehnik pengobatan yang pertama telah berhasil, jadi tidak usah kuatir, mami pasti segera sembuh…mana mungkin berat. Tapi mami tetap bersikeras untuk dicarikan seorang pendeta agar berdoa baginya…..terus mami ingat akan kakak saya Jonathan yang memang seorang yang telah menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. Mami memanggil-manggil nama kakak saya agar mau berdoa baginya. Tapi mana mungkin kakak saya dengar, karena ia jauh di Jakarta. Akhirnya saya panggil seorang pendeta dari San Francisco agar berdoa bagi mami. Pada saat yang bersamaan saya juga menghubungi kakak saya agar bersiap-siap ke Amerika karena mami memanggil namanya terus.

Selain ada tekanan yang berat mengenai kondisi mami yang belum menunjukkan perbaikan, kami juga menghadapi masalah lain yakni masalah biaya pengobatan yang dalam pikiran kami ini pasti besar.  Apalagi setelah 2 hari mami ternyata belum juga dipindahkan ke ruangan biasa yang lebih murah. Kami mendesak para dokter dan perawat disana untuk segera dipindahkan dari ruangan CCU itu (selain mahal, juga kami dengar kalau ruangan ICU adalah ruangan perebutan jiwa bagi pasien). Tapi herannya tidak pernah jadi, walaupun para dokter itu pernah beberapa kali berkata bahwa mami akan dipindahkan keruangan regular. Kami bingung mengapa koq susah sekali untuk pindah dari ruangan CCU itu. Oleh karena penundaan ini, maka perkiraan biaya menjadi meningkat menjadi US$20,000;  dalam hal ini kami tetap berkeyakinan untuk melunasi biaya pengobatan mami dengan minta potongan dan sisanya diangsur.  Lalu kami dipanggil oleh seorang financial consultant dari rumah sakit yang mengatakan bahwa kami sejogyanya memberikan uang muka sebagai tanda adanya niat baik. Karena memang niat kami baik maka saya berikan uang muka sebesar US$1000 yaitu sisa penghasilan saya yang ada untuk saya bawa pulang ke Indonesia sambil saya mengajukan permohonan keringanan pembayaran. Si consultant mengatakan bahwa itu nanti tergantung besarnya biaya, dan sekarang belum tahu berapa biayanya. Saat itu sayapun katakan kepadanya bahwa saya percaya pada waktu nanti mami sudah sembuh/keluar dari rumah sakit, seluruh biaya pasti terbayar, tapi saya tidak tahu darimana uangnya (saya jujur, airmata saya keluar waktu mengatakan ini); si consultant hanya terdiam. Esok harinya saya mencoba cari jalan untuk mendapat bantuan keuangan. Saya dengar ada sebuah program dari pemerintah setempat untuk pembiayaan pengobatan namanya MediCal. Saya datangi tempatnya dan bertemu dengan salah seorang yang menginterview saya. Hasilnya DITOLAK dengan alasan mami bukan penduduk tetap di daerah tersebut, hanya seorang pendatang saja.

Dalam keadaan yang cukup kalut ini, saya sering bertanya-tanya sama Tuhan, mengapa Tuhan semua ini terjadi? Mengapa terjadinya di Silicon Valley, bukan di Jakarta saja kan tinggal satu minggu lagi akan berangkat ke Jakarta? Kalau ini terjadi di Jakarta kan biayanya lebih murah, apalagi menurut seorang dokter yang tinggal di Jakarta mengatakan bahwa penyakit jenis ini sudah banyak ?  Saya akui saat ituTuhan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tapi IA  sering memberikan kekuatan melalui saudara-saudara saya yang di Jakarta pada saat saya menelepon mereka. Seperti misalnya kakak terbesar saya mengatakan bahwa mami itu tidak apa-apa, tenang saja.  Namun acapkali saya katakan dalam hati, kalian yang di Jakarta tidak melihat secara langsung, maka bisa bilang tenang saja tapi saya yang disini melihat langsung permasalahannya. Tetapi ebenarnya yang mengatakan bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada mami, bukan hanya kakak saya saja, tapi juga teman mami yang tinggal di Seattle, Tante Go Tjin San. Semua ini ternyata benar, karena mami ternyata sembuh.

Pada hari Jum’at tanggal 22 February 2001 dokter membawa mami kembali ke ruangan CT Scan untuk melihat berapa banyak lagi sisa cairan nanah yang ada. Ketika mereka selesai, muka-muka para dokter menunjukkan sesuatu yang tidak baik telah terjadi, saya kaget melihat mereka. Jadi saya tanyakan apa yang telah terjadi? Dokter yang melakukan CT Scan mengatakan bahwa kerusakan hati mami setelah 5 hari  bukan berkurang malah bertambah luas; yang pertama panjangnya hanya 10 Cm kini menjadi 12 Cm.  Kedua  dokter yang menangani mami kebingungan mengapa ini terjadi. Padahal mereka itu lulusan Stanford University dan University of California San Francisco yang terkenal itu. Sang dokter wanita memanggil kami bahwa tidak ada jalan lain kecuali melalui pembedahan.  Kali ini bukan hanya para dokter yang bingung, kami juga bingung dan cemas akan dua hal yakni kesembuhan mami dan biayanya pasti tambah lagi…..wah kami sudah tidak bisa menghitung lagi…..saya katakan pada adik saya….saya sudah tidak bisa bikin perkiraaan biaya lagi……saya pasrah apa jadinya nanti…begitu juga dengan adik saya….yang penting mami sembuh dulu. Dari kejadian ini, saya menarik kesimpulan bahwa apa yang mami lihat waktu beliau ditusuk dalam oleh si roh jahat dan mengatakan bahwa kali ini berat ternyata benar, dan akal sehat saya yang berharap pada dokter salah. Saya lalu seperti diingatkan akan doa peperangan yang saya lakukan dulu sewaktu memasuki wilayah Silicon Valley. Saat itu, saya seperti dibuat menyesal, mengapa saya lakukan itu?mungkinkah ini sebuah serangan balik? Saya memang memiliki pengalaman mendapat serangan balik waktu kami mengadakan peperangan rohani di San Diego, tapi serangan balik waktu itu tidak sebegini parah. Saya berpikir kalau saja tidak saya lakukan, mungkin tidak akan terjadi apa-apa, kan mami tidak pernah ada keluhan sebelum ini.  Sungguh saya kalut dan kehilangan arah panggilan saya.

Keesokan harinya, hari sabtu, sang dokter wanita bersama dengan dokter internist memanggil saya bahwa ada seorang dokter bedah hati dari Taiwan yang bersedia untuk membedah mami. Saya diam, tapi kedua dokter tersebut terus mempromosi sang dokter bedah tersebut  sambil mengatakan kalau bagian liver yang dipotong  itu bisa tumbuh kembali. Saya terdiam  karena saya bingung mengapa mami harus dibedah? Saya tahu mami paling takut untuk dibedah. Saya katakan kepada para dokter tersebut sebelum saya menanda tangani surat ijin pembedahan  saya akan berunding dulu dengan saudara-saudara saya. Kedua kakak dan adik saya akhirnya sepakat, kalau Tuhan tidak menghendaki mami dibedah pasti akan terjadi sesuatu. Sabtu itu, entah mengapa jiwa saya terasa lelah, iman saya goyah, seperti lemah tak berdaya; sampai saya katakan pada adik saya bahwa saya merasakan sesuatu yang berat sekali. Jujur saja,  saya takut sekali kalau mami sampai meninggal è Sampai akhirnya saya mendapat hikmat bahwa “Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” dan jangan “mengasihi sesamamu manusia seperti kita mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan pikiran kita”. Barulah setelah itu saya mendapat kekuatan untuk menghadapi hal yang terburuk yang bisa terjadi pada mami. Dalam keadaan seperti itu Jujur saja saya memerlukan saudara-saudara saya untuk berdoa dan berdiskusi bersama. Lalu entah mengapa, kakak ipar saya, Joel Harahap juga meminta ke dua kakak dan adik saya untuk berangkat ke Amerika seakan-akan sepemikiran dengan saya. 

Pada hari sabtu malam, saya dan adik saya dipanggil oleh sang dokter bedah hati dan beliau menanyakan beberapa hal, misalnya apakah mami mempunyai asuransi kesehatan. Selain itu beliau juga menyatakan bahwa ada kemungkinan mami menderita kanker. Setelah bertanya jawab dengan kami, sang dokter akhirnya hanya berkata bahwa sebaiknya mami dipindahkan saja ke rumah sakit lain; alasan dia bahwa terlalu banyak pekerjaan untuk jenis penyakit ini, sebaiknya dibawa ke rumah sakit yang banyak mahasiswa kedokterannya. Saya dan adik saya pulang dengan penuh kebingungan mau dibawa kerumah sakit mana? Kalau dibawa ke Stanford Hospital, biayanya pasti sangat-sangat mahal tapi kalau dibawa ke Valley Medical Center, sebuah rumah sakit pemerintah, jangan-jangan nanti jadi kelinci percobaan.

Pada hari minggu pagi tiba-tiba dokter wanita yang sudah mengatur pembedahan marah-marah kepada kami, kalian bicara apa pada dokter bedah itu sampai dia tidak mau membedah? Kami bingung karena kami tidak bicara apa-apa kecuali menanyakan berapa parahnya penyakit mami.  Walau sudah mendengar alasan kami tapi sang dokter itu tetap bermuka masam. Tapi saya dan adik saya sepakat bahwa  mungkin Tuhan tidak menginginkan mami dibedah jadi ada saja yang membatalkannya. Tiba giliran sang dokter dari Taiwan yang menanyakan mengapa pembedahan dibatalkan, saya katakan bahwa saya tidak tahu tapi sang dokter bedah itu hanya menyarankan untuk segera dipindahkan ke rumah sakit lain saja yang ada mahasiswa kedokterannya, dia manggut-manggut, rupanya dalam hati dia senang akan segera terlepas dari masalah yang tidak ada duitnya ini (Dokter di Amerika tidak bisa melepas pasien begitu saja dengan alasan keuangan). Pada minggu siangnya, adik saya kunjungi Valley Medical Center, dan dia katakan kalau gedung rumah sakitnya bagus, lebih bagus dari rumah sakit yang sekarang El Camino.

Namun kami tetap bimbang, mau Stanford Hospital atau Valley Medical Center. Akhirnya saya dan adik saya sepakat untuk meminta Stanford Hospital dulu, karena ini masalah hidup mami, kami ingin mami dapat yang terbaik dan mami juga bukan warga negara Amerika yang bisa diterima rumah sakit pemerintah seperti Valley Medical Center.

Pada hari Minggu sore, kami kembali bertemu dengan si dokter wanita dan si dokter dari Taiwan. Si dokter dari Taiwan menerangkan ke si dokter wanita bahwa mami akan dipindah ke rumah sakit lain. Mendadak si dokter wanita ini kaget (saya perkirakan ia belum mengetahui rencana ini) dan terus ngeloyor pergi.  Namun pada malam harinya, ia memanggil saya dan mengatakan bahwa mami harus dibedah malam ini juga. Saya kaget dan bertanya siapa yang akan membedah mami, dia katakan ini seorang ahli bedah umum. Sebenarnya saya kurang setuju, tapi dia katakan kalau mami tidak dibedah malam ini, maka ia akan meninggal. Saya tahu ini semacam intimidasi, tapi saya dalam posisi yang lemah. Saya menghubungi Jakarta untuk berdiskusi. Kembali kesimpulan kami yakni kami mau menyerahkan hal ini ke dalam tangan Tuhan, kalau IA tidak menghendaki pembedahan ini maka akan terjadi pembatalan lagi. Kali ini ternyata pembedahan mami jadi dilakukan. Saya bingung dan pasrah sambil melihat mami yang  sudah tidak sadarkan diri dengan didukung oleh mesin pernafasan.

Setelah pembedahan kami bertemu dengan  si dokter wanita,tampaknya ia puas dan sambil manggut-manggut mengerti mengapa obat-obatannya tidak berhasil (saya perkirakan ia penasaran, maka ia bersikeras untuk membedah mami malam itu juga).  Karena hari Minggu maka tidak ada rumah sakit yang menerima pindahan. Namun pihak rumah sakit terus berupaya untuk mencarikan tempat untuk  mami di Stanford Hospital; namun hasilnya selalu sama yakni tidak ada tempat.  Dalam hal ini terjadi sesuatu yang aneh, si dokter dari Taiwan selalu berkata pada saya bahwa saya perlu memberikan uang muka terlebih dulu ke rumah sakit yang dituju. Sementara itu, dari pihak rumah sakit El Camino mengatakan bahwa ini harus diurus oleh para dokter dari masing-masing rumah sakit. Saya bingung yang mana yang benar.

Pada Senin pagi, si dokter dari Taiwan menanyakan kembali apakah saya sudah pergi ke rumah sakit yang dituju, saya katakan belum, dan beliau marah kepada saya. Akhirnya saya berdiskusi kepada adik saya bahwa kita perlu mencoba usulan dokter tersebut.  Menimbang Stanford Hospital selalu bilang tidak ada tempat dan mahal pula, saya mau mencoba Valley Medical Center. Saya pergi kesana dan menemui bagian “Penerimaan Pasien”, menurut petugas disana, memang yang mengurus pindahan bukanlah pasien atau keluarganya tapi para dokter dari kedua rumah sakit. Lalu saya minta beliau menulis sebuah surat yang menjelaskan prosedur tersebut. Pada saat saya berjalan keluar saya bingung, dokter yang menangani mami saya tidak mau mengurus perpindahan ini, sementara itu  pihak rumah sakit tidak mau berhubungan dengan pihak lain, jadi kapan mami saya akan pindah??? Saya duduk sendirian diluar gedung rumah sakit sambil kembali berseru kepada Tuhan (saya tidak punya kenalan dan family di Sunnyvale jadi hanya ke Tuhan), Tuhan mengapa semua ini terjadi? Saya bingung musti ngapain? Mami terbaring dirumah sakit tapi tidak ada pihak yang mau mengurusnya.  Saya berdoa Tuhan tunjukkan saya bagaimana saya dapat membuka pintu surga agar ada jalan keluarnya.

Pada Senin sore, saya kembali ke rumah sakit El Camino, dan saya bertemu dengan si dokter dari Taiwan. Kembali ia menanyakan hal yang sama, apakah saya sudah memberikan uang muka ke rumah sakit yang dituju. Kali ini saya punya jawaban, yakni kertas dari petugas rumah sakit Valley Medical Center. Dan beliaupun bergumam sendiri setelah membaca kertas tersebut. Beberapa jam kemudian sang dokter wanita memanggil saya, beliau katakan bahwa dia sudah hampir seharian mencari dokter dan rumah sakit untuk mami. Disini saya mengerti, mengapa Tuhan membiarkan dia melakukan pembedahan terhadap mami, ternyata dokter wanita ini yang sibuk mengurusi pindahan mungkin karena ia harus bertanggung jawab atas pembedahan yang telah dilakukan. Dokter tersebut berkata kepada saya bahwa dia sudah mendapatkan tempat di Pusat Liver di University of California San Franscisco, menurutnya itulah pusat para dokter ahli hati terbaik didunia. Kemudian dia lanjutkan bahwa mami akan mendapat perawatan yang terbaik namun bila petugas disana menanyakan soal status katakan bahwa mami adalah penduduk di Sunnyvale supaya ada bantuan keuangan dari pemerintah setempat. Kemudian saya menelepon adik saya di kantornya dengan berita yang baik ini. Kami mengatur segala sesuatunya menimbang lokasi rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal kami selama ini. Jadi saya merencanakan untuk tinggal dirumah sakit saja apalagi saat itu mobil adik saya lagi mengalami masalah dengan sistem pendinginnya.

Selagi saya menghubungi seorang kawan di San Francisco tentang perpindahan ini, si dokter wanita menghubungi saya dan mengatakan bahwa rencana untuk pindah ke San Francisco tidak jadi, tetapi akan dipindahkan ke Valley Medical Center karena disana telah ada seorang dokter ahli bedah yang bersedia menangani mami dan masalah administrasi diurus belakangan. Kembali disini terlihat Tuhan turut campur tangan dalam pemilihan rumah sakit pada saat kami sudah tidak memiliki daya lagi. Memang pada waktu itu ada sedikit penyesalan, mungkin kalau di rawat di pusat liver pasti hasilnya lebih baik dari pada dirawat di Valley Medical Center. Tapi Tuhan mengingatkan bahwa DIALAH SANG PENYEMBUH ITU bukan dokter atau manusia lainnya. Jadi dimanapun dan siapapun dokternya kalau Tuhan menyembuhkan pasti akan sembuh. Malahan di rumah sakit pemerintah ini akan terlihat kuasaNYA bukan karena kehebatan dokternya. Saya juga teringat bahwa doa peperangan saya adalah untuk wilayah Silicon Valley bukan San Francisco.  Mengerti hal ini hati saya tenang karena akhirnya ada sebuah kepastian tentang perawatan mami dan saya tidak perlu berbohong pula tentang status mami. 

Pada pukul 12 malam, tim 911 yakni ambulan yang akan membawa mami tiba di rumah sakit El Camino. Mereka berangkat ke Valley Medical Center pada pukul 1 dini hari . Saya dan adik saya tiba terlebih dahulu di Valley Medical Center, dan kami langsung ke ruangan ICU khusus pasien bedah. Jujur saja, kesan pertama kami akan rumah sakit ini tidak baik, saat itu entah mengapa koq para perawat dan dokter jaganya terkesan santai tidak seperti di El Camino. Kami sungguh kuatir saat itu jangan-jangan mami akan dijadikan kelinci percobaan, sekarang saya menyadari kalau itu adalah bisikan dari si jahat yang sengaja untuk membuat kami lemah. Ini terbukti pada waktu mau diadakan pembedahan kami bertemu dengan si dokter ahli bedah dan beliau mengatakan bahwa dalam pembedahan ada resiko kematian, adik saya langsung menghampiri asisten dokter tersebut dan mengatakan bahwa bila mereka tidak sanggup katakan ke kami dan kami siap pindahkan mami ke rumah sakit lain.  Tapi saya katakan ke adik saya, mana mungkin kita pindahkan mami lagi yang ini aja susah dapatnya. Sekarang tidak ada jalan lain kecuali berserah ke Tuhan saja.

Pukul 2 pagi dini hari, operasi pertama dilakukan. Kami berdua menunggu, di saat-saat yang menegang itu, dengan tidak bergerak dari tempat duduk kami. Begitu kami melihat si dokter itu keluar dari kamar bedah pada pukul 4 pagi, kami langsung datangi dan menanyakan hasilnya Dia katakan bahwa pembedahan yang dilakukan di El Camino sungguh sangat berbahaya, karena hati mami terendam cairan yang banyak sekali. Dia juga katakan bahwa memang semula diperkirakan ada kanker tapi 90% kemungkinan itu adalah batu. Secara keseluruhan operasi malam itu berhasil, tapi dia katakan juga  bahwa operasi ini belum selesai  karena masih terjadi pendarahan maka akan terus diulang setiap hari sampai kering. Jadilah setiap hari hati kami dag dig dug dan bertanya kapan operasi ini akan selesai.

Karena luka operasi mami masih terbuka, maka mami tidak pernah sadarkan diri. Setiap kali mami merintih, tanda dia mulai sadar, dosis morfinnya ditambah. Kami yang menjaganya tidak mengerti kapan semua ini akan berakhir hanya dapat melihat mami tertidur terus dan sebanyak 12 selang masuk ke tubuh mami.

Sambil menunggu selesainya masa operasi saya telepon saudara-saudara saya di Jakarta dan memberi kabar tentang keberhasilan operasi yang pertama, namun operasi akan terus diulang karena lukanya masih berair terus.  Kakak saya yang terbesar mengatakan memang waktu saya kasih kabar tentang mahkluk hitam dan besar yang menusuk mami, dia sudah berdoa dan mengalahkan roh jahat itu. Tapi kakak saya juga bingung , mengapa luka mami masih berair dan tidak kering-kering sehingga harus terus keluar masuk kamar bedah. Beberapa hari kemudian kakak saya katakan kalau dia  sewaktu berdoa lupa mencabut benda tajam yang tertancap ditubuh mami jadi hanya mengusir dan mengalahkan roh jahatnya saja. Maka tak heran bila luka mami terus berair. Kemudian dia katakan selagi dia berdoa di kamar mandi, dia cabut itu benda tajam dan dia seperti diserang oleh sebuah pedang tapi kemudian pedang itu terpatah dua. Mendengar hal ini, kembali saya seperti biasa yaitu hanya diam dan menanti kebenarannya. 

Pada saat saya dan adik saya menunggu kapan operasi ini akan selesai, saudara-saudara saya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Amerika.Tapi  kakak saya yang terbesar belum memiliki visa. Dia pernah mengajukan beberapa tahun yang lalu namun selalu ditolak, ini membuat dia hampir putus asa. Namun kali ini ternyata berhasil dan tidak ditanya apapun; saya percaya ada campur tangan Tuhan dalam hal ini. Jadilah mereka berangkat pada hari Rabu dan akan tiba di Sunnyvale pada hari Jum’at malam. Ternyata operasi pada Jum’at malam itu adalah operasi terakhir dan luka mami akan langsung ditutup pada hari itu. Jadi pada saat mereka datang, proses operasi sudah selesai. Saya percaya ini juga karena kuasa doa yang mempercepat pengeringan tersebut; persis seperti yang didoakan dan dilihat oleh kakak saya yang terbesar Jonathan bahwa benda tajamnya telah patah menjadi dua.

Kini kita beralih ke masalah biaya pengobatan, kali ini yang akan mengurusnya adalah adik saya Daniel karena saya pernah ditolak waktu mengajukan permohonan bantuan. Ketika adik saya pergi ke bagian adminstrasi rumah sakit, dia diminta menyerahkan paspor mami dan I-94 (nama dokument untuk ijin tinggal di Amerika). Petugas disana meminta kami menunggu proses persetujuannya. Proses ini berlarut-larut hingga Kakak dan adik kami tiba di Sunnyvale. Setelah mereka tiba,  setiap malam kami berlima bersatu dalam doa, kami berdoa bersama-sama. Banyak pernyataan dan kekuatan yang Tuhan berikan kepada kami. Tuhan menyatakan agar kami semua jangan memikirkan mami lagi (padahal mami masih di ruang ICU), tapi bersiap-siaplah Tuhan akan  berperkara pada kami satu persatu (ini memang terjadi).  Pada doa diminggu malam, Tuhan berkata kepada Daniel untuk menghadap interviewer besok dengan penuh kepercayaan  bahwaTuhan yang akan berperkara.

Tepat seperti yang dikatakan Tuhan, pada senin pagi, Daniel bertemu dengan petugas yang akan menginterview sambil menyerahkan I-94 tapi bukan yang asli hanya fotocopy karena aslinya telah di kirim ke INS (Immigration and Naturalization Services) untuk perpanjangan ijin tinggal berhubung mami menderita sakit. Begitu petugas tersebut melihat fotocopy I-94 itu ia tidak berkata apa-apa kecuali “ini yang saya butuhkan,  semuanya sudah beres” Sama sekali dia tidak tanya apa-apa lagi sampai-sampai adik saya bingung apa iya semuanya sudah beres dengan begitu mudah, inikan berhubungan dengan jumlah uang yang besar? Saya yang mendengar hal inipun juga bertanya-tanya beresnya sampai dimana? Tapi pernyataan-pernyataan Tuhan yang menguatkan kami untuk mempercayai itu. Kembali seperti biasa, kejadian ini kami diamkan saja dan menunggu kebenarannya (walaupun dalam hati kadang-kadang timbul keragu-raguan juga….apa iya begitu mudahnya? Dulu koq saya ditolak? Apalagi saat itu, tagihan dari rumah sakti El Camino, laboratorium, para dokter dan lain-lain sudah tiba dan jumlahnya luar biasa +/- US$ 100,000 membuat kami secara manusia bertanya-tanya bagaimana bayarnya yach nanti?)

Setelah selesai dioperasi, mami tetap ditaruh di kamar ICU. Kami ingin secepatnya mami dipindahkan ke kamar biasa karena takut biayanya mahal (kami tetap belum yakin benar) dan adik dan kakak perempuan saya akan segera kembali ke Jakarta. Mereka ingin mami sudah bisa bercakap-cakap dengan mereka sebelum berangkat. Disini kami sadar kami seakan-akan memaksa Tuhan untuk bekerja cepat, tapi kembali Tuhanlah yang punya kuasa, malahan kami disuruh untuk berdoa bagi pasien-pasien lain dan rumah sakit itu bukan melulu mami. Jadi selama 14 hari kami berlima selain berdoa diapartement, juga di rumah sakit. Sampai-sampai para perawat dan petugas rumah sakit mengenali kami yang sering berdoa, khususnya kedua kakak saya Jonathan dan Christine. Sungguh lucu, mami sendiri masih sakit tapi malahan ngurusin orang lain. Tapi inilah yang dikehendaki Tuhan kita.  Setelah kakak dan adik perempuan saya pulang, mami tetap tertidur tidak sadarkan diri. Namun 3 hari sebelum kakak saya yang terbesar kembali ke Jakarta, dokter mengijinkan alat bantu pernafasannya dicabut, ini tentunya akan membuat mami bisa bercakap-cakap…..kami bertiga girang. Esok harinya mami berkata bahwa ia melihat ada 2 orang kecil yang satu pakai pakaian jepang dan yang satunya pakai peci duduk dengan tenang diatas kaki mami dan mami sambil berkata besok akan ada keramaian disini. Sebenarnya menurut dokter besok mami akan dipindahkan ke kamar regular.  Kali ini kami bertiga bersatu mengusir roh jahat ini. Kami tidak mau ada apa-apa lagi yang terjadi. Keesokan harinya sewaktu dokter mencabut 2 selang yang berhubungan dengan paru-paru, terjadi masalah kecil; mami tidak bisa bernafas/mengalami sesak nafas. Gara-gara ini maka perpindahan mami ke kamar regular tertunda. Saya percaya roh-roh jahat itu tetap berupaya untuk menahan mami. Tapi karena Tuhan yang berperang ganti kami, akhirnya satu hari kemudian mami bisa dipindahkan ke kamar biasa.

Dalam kamar biasa, saya tidak merasakan apa-apa lagi kecuali perasaan lelah dan jenuh.  Sementara itu mami masih terpengaruh oleh morfin karena masih adanya luka yang besar dan tidak sadar kalau beliau ada di Amerika; mami pikir ia ada di sebuah rumah sakit di daerah Mangga Besar. Setelah mengalami perawatan hampir satu bulan, saya meminta dokter untuk membawa mami pulang karena mami tidak bisa makan dan tidur nyenyak di rumah sakit. Sang dokter mengatakan boleh saja, tapi bagaimana dengan terapinya mengingat kondisi mami yang sangat lemah tidak bisa duduk, apalagi berdiri. Saya katakan saya yang akan melakukan semua itu. 1 hari sebelum hari pulang mami bertanya, siapa yang bayar ini semua? Nanti kalau kita pulang kita harus bayar dulu kan? Tapi saya katakan Tuhan yang akan bayar semua ini melalui pemerintah negara ini. Tapi kelihatannya mami tidak mengerti.

Pada hari pulang mami, adik perempuan saya Martha datang untuk membantu mengurus mami diapartemen mengingat mami belum mampu melakukan apa-apa sendiri. Dan saatnya kami mau meninggalkan rumah sakit, mami disediakan satu buah kursi roda dan ada seorang petugas dari rumah sakit yang mengurus pasien keluar yang datang menghampiri kami di kamar dan mengatakan semuanya sudah beres (Tepat seperti yang dikatakan oleh Tuhan).  Mengingat luka mami yang masih besar dan masih adanya cairan yang keluar, maka dokter mengajarkan saya bagaimana merawat lukanya dan kami harus bolak balik ke klinik mula-mula satu minggu sekali dan semua ini free of charge alias gratis. Sampai saat ini, kami tidak pernah menerima tagihan apapun dari rumah sakit Valley Medical Center.

Ketika mami baru saja tiba di apartement adik saya, tak lama kemudian nafas mami tersengal-sengal, sulit untuk bernafas; sementara itu badannyapun gemetaran (berat badannya hanya 29-30 Kg saja). Tentu saja kami bertiga bingung, mau dibawa keluar lagi tentunya sulit, maka saya putuskan untuk pergi ke rumah sakit meminta bantuan untuk memperoleh oksigen/alat bantu pernafasan. Tapi ketika saya pulang, saya melihat mami sudah mendingan, rupanya mereka bertiga berdoa sewaktu saya tinggal. Kembali terlihat Tuhan menang lagi.  Tapi setelah itu, masih banyak masalah-masalah yang menimpa mami dan kami bertiga harus pergi bolak balik ke ruang gawat darurat, misalnya saat mami susah buang air besar kemudian waktu tekanan darah mami kembali sangat rendah, juga ketika selang pipa yang di lobang diperut mami keluar tapi susah untuk dimasukin kembali.  Bahkan selama dirumah bermacam-macam penyakit juga mengganggu mami seperti gatal diseluruh tubuh, tulang-tulang pada ngilu, sakit perut yang melilit. Belum lagi perawatan lukanya yang menganga sering terasa perih serta ketidakmampuannya untuk berdiri dan berjalan membuatnya harus berlatih dengan penuh perjuangan.  Sungguh semuanya itu membuat mami sangat menderita.

Tapi dari semuanya itu saya tetap melihat penyertaan tangan Tuhan yakni Dia memberi kami kesabaran dan kekuatan, pada saat kami memerlukan bantuan selalu ada jalan, setiap kami pergi ke unit gawat darurat selalu mendapat pelayanan yang baik walau tidak membayar sendiri.

Dalam masa perawatan mami dirumah, saya seperti diingatkan kepada uang muka yang saya berikan ke rumah sakit El Camino. Maka saya pergi ke rumah sakit tersebut untuk memberikan kartu tanda bahwa mami telah ditanggung oleh MediCal. Oleh rumah sakit tersebut diurus dan ketika saya tanyakan mengenai uang muka yang saya berikan, petugas disana mengatakan saya dapat mengambilnya kembali. Disini saya kembali melihat kuasa Tuhan, apa yang saya katakan bahwa “pada saat mami telah sembuh/keluar dari rumah sakit pasti biayanya akan terbayar lunas” menjadi terbukti. Bukan hanya itu saja, uang mukanyapun kembali utuh.

Tiga minggu sudah mami dirawat dirumah, mami sudah bisa bepergian ke supermarket, makan di Tacobell, potong rambut walau harus duduk dikursi roda dan masih ada satu kantung yang dibawa-bawa. Kami sudah menikmati kembali masa-masa seperti dulu. Tapi mendadak pada suatu hari, perut mami terasa sakit sekali, mami merasa masuk angin. Saya sudah katakan lebih baik mami dibawa ke ruang gawat darurat. Tapi mami menolak karena takut masuk rumah sakit lagi. Namun ketika mami minum obat cina, mami muntah-muntah lagi. Maka mau tidak mau kami bawa mami kembali ke ruang gawat darurat, dan benar saja malam itu mami harus kembali dirawat di rumah sakit.

Perawatan kali ini berbeda dengan sebelumnya, karena mami sadar dan dapat merasakan semuanya. Sewaktu mami di X-Ray berkali-kali, mami benar-benar merasakan kelelahannya. X-Ray  ini berguna bagi mami untuk memastikan bahwa semua isi perut mami  berfungsi dengan baik.  Selain itu  mami mengetahui bagaimana cara anak-anaknya bekerja sama untuk menjaganya. Dan mami juga melihat kalau ada orang yang dibayar oleh asuransi, mereka cenderung dirawat secepat-cepatnya dan setelah itu sudah disuruh pulang walaupun masih lemas. Tapi mami berbeda, sampai kita sendiri yang minta pulang baru disuruh pulang. Jadi kita tidak perlu menyesal tidak membeli asuransi perjalanan. Manfaat lain adalah kantung yang dibawa-bawa memang harus dilepas pada perawatan kali ini. Dengan kata lain, menurut hikmat yang saya dapat, perawatan kali ini adalah perawatan penutup.

Selama satu minggu mami dirawat untuk kedua kalinya. Setelah itu kami beberapa kali masih ke klinik tapi tidak pernah lagi ke ruang gawat darurat. Pada bulan July 2001 ketika cairan dari luka mami sudah berhenti, dokter menyatakan kami tidak perlu ke klinik lagi. Wah betapa senangnya kami. Kini kami tinggal menunggu waktu untuk kembali ke Jakarta. Dan akhirnya ditetapkanlah berangkat dari San Francisco tanggal 14 Agustus 2001 dan tiba di Jakarta tanggal 16 Agustus 2001. Dan perlu pembaca ketahui, waktu mami berangkat ke Amerika tahun 2000 berat badan mami antara 37-38 Kg, dan ketika mami berangkat pulang ke Jakarta pada tanggal 14 Agustus 2001, berat badan mami kembali ke kisaran 37-38 Kg. Sungguh ajaib Tuhan kita.

Setelah mami disembuhkan, saya berpikir kembali keseluruh pertanyaan saya sewaktu saya dalam kesesakan. Ternyata semua pertanyaan saya terjawab:

Saya bertanya:

Mengapa ini harus terjadi di Sunnyvale, California?

Jawaban yang saya dapat:

Dalam suatu doa bersama, Tuhan menyatakan agar mami berdoa bagi California karena mami sudah dibayarin oleh pemerintah California. Dan saya percaya Silicon Valley telah penuh KemuliaanNYA. Saudara-saudara kekasih dalam Tuhan, tunggu saja bagaimana Tuhan akan berurusan dengan Amerika lebih jauh lagi dari apa yang telah terjadi. Karena sesungguhnya di tahun 1998 saya telah mendapat pernyataan-pernyataan dari Tuhan bahwa Tuhan akan berurusan dengan Amerika; dan saya diminta berdoa bagi Amerika atas hal ini.

Saya bertanya:

Mengapa Tuhan semua ini terjadi satu minggu sebelum waktunya kami kembali ke Jakarta?

Jawaban yang saya dapat:

Karena ini akan berhubungan dengan peraturan program MediCal yang dapat dipergunakan Tuhan untuk membayar semua biaya pengobatan tanpa mengganggu legalitas mami.

Saya bertanya:

Mengapa mami harus sakit parah, padahal sebelum tidak ada tanda-tanda sakit?

Jawaban yang saya dapat

Tuhan  memiliki rencana yang lengkap, seperti

  • kami berlima dikumpulkan untuk dinyatakan rencanaNYA dalam hidup kami masing-masing,
  • memberi mami pelajaran agar tidak lagi berkata yang sia-sia (mami sering minta sakit yang jauh dari keluarga),
  • membuka mata saya yang dulunya tidak peduli akan orang sakit tapi kini saya sangat mengerti betapa beratnya bila ada anggota keluarga kita yang sakit, sekaligus melatih pelayanan saya agar tidak memikirkan diri sendiri melulu.
  • Tuhan hendak memberikan kakak saya visa untuk masuk ke Amerika karena sebelumnya ia sudah putus asa.
  • Saya percaya masih banyak lagi manfaat lain yang tidak dapat saya lihat dan mengerti.

Pada akhirnya, perkenankanlah kami keluarga besar Lydia Lani Winata mengucapkan terima kasih atas dukungan doa dari saudara-saudara seiman yang berada di Jakarta dan Amerika. Tak lupa juga rasa terima kasih kami untuk Keluarga Iwan Saleh di San Diego, keluarga bapak Pendeta Pieter Manuhutu di Los Angeles serta  keluarga bapak Pendeta Billy Lesmana  dan Beni & Jenny di San Francisco yang telah bersusah payah mengunjungi kami sewaktu mami dirawat di rumah sakit. Untuk keluarga besar ICF San Diego melalui saudara kami yang terkasih Ka Mi Jong yang telah memberikan bantuan financial untuk mami, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Biarlah Tuhan kita yang maha kuasa namun pemurah akan membalas semuanya itu. 

 
<< Mulai < Prev 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Next > End >>